Seseorang pernah memberi saran untukku, "buatlah tulisan yang jujur agar bisa menyembuhkan luka-luka yang kau derita, agar bisa berdamai dengan masa lalunya, agar bisa menerima apa yang telah ditetapkan-Nya."
Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna. Kita, keluarga yang mencoba untuk terlihat sempurna. Sedih dan senang itu satu paket, pun dengan kekurangan dan kelebihan yang kita punya. Mungkin emang sekurang itu sampai-sampai aku menderita anxiety disorder, depresi, gangguan tidur, dan gangguan mood. Mungkin emang sekurang itu sampai-sampai aku mempunyai penyakit vertigo dan spasmofilia stadium 4. Mungkin emang sekurang itu sampai-sampai aku trauma dengan orangtuaku sendiri. Kurang lebih 16 tahun memendam itu membuatku berkali-kali ingin mencoba untuk bunuh diri. Aku seorang mahasiswi Psikologi, aku beragama Islam, dan pikiranku selalu terbagi menjadi tiga hal: aku mempunyai power untuk mengendalikan dan menterapi diri sendiri, aku yang sedikit banyak mengetahui ilmu agama dan tahu bahwa bunuh diri itu hukumnya sangat berat, dan aku yang hanyalah manusia biasa yang sedang 'sakit'.
Dengan tulisan ini pula aku mengucapkan banyak terima kasih terhadap orang-orang yang selalu ada untukku, yang tak bisa ku sebutkan satu persatu, yang tentunya sangat mempunyai andil dalam proses penyembuhan penyakitku. Khususnya buat adik dan abang kandungku; Muhammad Fatih Al Aziz dan Shofiatul Karimah, mbak sangat berterima kasih karena kalian telah bisa menampung cerita mbak (yang baru di bulan April kemarin mbak akhirnya bisa mengumpulkan keberanian untuk menceritakan semuanya), mengerti, mendukung, dan menguatkan mbak, yang sebelumnya mbak udah sangat takut dan sangat pesimis mbak ga bakal pernah bisa mendapatkan pengertian yang mbak inginkan dari keluarga. Mbak gatau apakah kalian menyampaikan cerita mbak ke Abi Ummi, tapi yang jelas mbak berterima kasih karena mbak merasakan ada 'ruang' yang akhirnya diberikan Abi Ummi ke mbak, yang selama ini itulah yang mbak butuhkan (untuk penyembuhan mbak).
Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna. Tapi kita, keluarga yang terus mencoba untuk saling menyempurnakan. Kita emang sekonyol itu, kita emang se-sengklek itu, kita emang se-slenge'an itu, kita emang se'geser' itu, kita emang se-gesrek itu, kita emang serame itu. Ada banyak hal yang terus ku pelajari dari keluarga ini; tentang bagaimana cara menjalani hidup, tentang bagaimana cara bertahan di bawah tekanan, tentang bagaimana menghadapi dan menyelesaikan permasalahan, dan tentang tentang lainnya yang pada akhirnya menggiringku pada sebuah kata; kesederhanaan. Kita, bukanlah keluarga yang 'mengenal' makanan fast food, seperti KFC, Pizza Hut, Starbucks dan sejenis itu. Tepatnya, orangtuaku mendidik anak-anaknya dengan cara tidak memperkenalkan 'toko-toko' itu kepada kami. Bukan, bukan berarti toko-toko itu buruk. Hanya saja, aku bersyukur karena dengan didikan itu, kami, anak-anaknya, tidak rela mengeluarkan lembaran uang Rp. 50.000 hanya untuk segelas kopi, lebih memilih lauk pauk 4 sehat 5 sempurna daripada membeli burger, dan lebih memilih ngehedon di tempat yang mahal tapi bagus sekalian daripada di tempat yang udahlah ecek-ecek, trus mahal, tapi makanannya ga enak. Oke kalimat terakhir bercanda. Tapi bener. LOL. Mungkin karena didikan itulah yang memunculkan kebingunganku terhadap orang-orang yang begitu addict terhadap fast food; begitu banyak meme-meme yang memuja Pizza, dll dsb dst. Tidak, aku tak membenci tempat-tempat tersebut, karena tak dapat dipungkiri segala sesuatu yang tidak menyehatkan itu memang enak (?) Yang ingin aku sampaikan adalah, aku bersyukur hal itu tidak menjadi gaya hidupku.
Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna. Tapi kita, keluarga yang selalu mencoba untuk terus berjuang dan berusaha. Satu hal yang sangat ku sukai dari Abi; Abi adalah orang yang benar-benar berjuang dari nol; dari yang dulu tidak mempunyai apa-apa sampai sekarang menjadi punya 'nama'. Mbak masih inget banget cerita Abi yang dulu cuma makan pake nasi dan minyak jelantah (minyak bekas penggorengan), entah bagaimana rasanya, membayangkannya saja mbak sudah mual. Dan di masa sekarang, ketika makanan di rumah habis oleh kita, Abi bilang dengan nada bercanda tapi mbak tau ujungnya serius; "Ya Allah naak, ga di sisain buat Abi. Tapi gapapa, yang penting anak-anak Abi bisa makan." :') Abi yang menjadi inspirasi mbak untuk memilih calon suami yang mau berjuang dari nol kayak Abi. Mbak pengen punya calon suami yang kayak begitu. Dan Ummi, Ummi yang menjadi inspirasi mbak untuk bisa menjadi istri yang berada di balik kesuksesan seorang suami. Mbak gatau apakah salah mbak mempunyai pikiran seperti ini, tapi, mbak sama sekali ga ada kepikiran tentang materi kalau berbicara soal mahar nanti. Aak dengan maharnya yang sekian sekian sekian, Abang dengan memberikan maharnya yang sekian sekian sekian, mbak yang cuma pengen mahar hafalan Qur'an. Salahkah?
Bi, di umur mbak yang bentar lagi menginjak 22 tahun ini (karena awalnya niatnya pengen nulis ini pas di tanggal lahir mbak nanti, tapi lagi-lagi mood nulisnya muncul hari ini), mbak cuma pengen nyampein, apapun nanti yang terlihat salah di mata Abi, mbak mohon tolong dimengerti ya, Bi. Mbak masih terus dan akan selalu berproses untuk memperbaiki diri. Mbak pengen Abi tau kalo di sini pun mbak sangat berjuang dan berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik dan membuat bangga Abi Ummi, walaupun mungkin usaha yang terlihat tampak tidak ada apa-apanya.
Bi, Karimah udah nyampein ke mbak, kalo Abi Ummi pengen mbak ngehubungin Abi bukan hanya ketika mbak sedang butuh uang aja, Abi Ummi pengen kita diskusi juga lewat telepon seperti yang biasa kita lakukan di rumah. Mbak sangat mengerti dan menangkap apa yang Abi Ummi kodein ke mbak. Mbak gatau apakah Kakmah atau Abang udah nyampein juga jawabannya ke Abi Ummi, mbak terlalu pengecut untuk meminta maaf secara langsung, Bi. Maaf kalo sampai saat ini mbak masih belum bisa memenuhi keinginan Abi Ummi yang itu. Dengan proses terapi yang sedang mbak jalani sekarang untuk penyembuhan mbak, besar harapan mbak Abi Ummi bisa mengerti mengapa mbak belum bisa memenuhinya.
Bi, terima kasih udah jadi Abi yang romantis. Mbak ga akan pernah lupa pas mbak cuma iseng bilang mbak pengen martabak yang kuahnya cokelat (martabak India) ketika Abi pulang ke rumah membawa martabak yang kuahnya kuning (martabak Har). Besoknya, di meja udah ada aja dong martabak India nya dan Abi bilang ke mbak; "Martabak yang ini kan yang Fathimah pengen?" :')
Bi, mbak tau sekarang Abi sedang melewati masa-masa yang sulit (lagi). Entah apa itu, maaf mbak belum bisa gimana-gimana selain bantu doa. Semoga Abi selalu disehatkan, dikuatkan, disabarkan, dan dilancarkan segala urusannya. Dan semoga, kita semua, Abi, Ummi, Aak, Abang, Kakmah, Dek Ara, makin dieratkan ikatannya sebagai sebuah keluarga yang... bahagia.
Salam sayang, dari yang selalu mengerti keluarga ini tapi cuma bisa mendem
Mbak Fath