0

Accepting

Posted by Langit Senja on 1:13 PM
Di dalam hidup, ada hal-hal yang memang harus.. diterima saja. Tanpa bertanya mengapa, tanpa interupsi apa-apa. Setelah semua penderitaan yang aku alami selama ini, baik fisik maupun psikis, aku akhirnya melakukan pengobatan dan terapi yang benar-benar serius aku jalani. Dan mendengar bahwa aku harus konsul ke dokter setiap dua minggu sekali, atau obat-obatan yang harus aku minum selama tiga bulan ke depan setiap dua kali sehari, atau terapi yang harus aku jalani setiap hari, membuatku semakin mengerti apa itu arti menerima; bagaimana menghidupi jiwa dengan penerimaan diri.

Menerima bahwa apa-apa yang telah terjadi jika dirisaukan juga tak akan mengubah keadaan.
Menerima bahwa apa-apa yang ada di depan mata jika dicemaskan juga tak akan ada gunanya.
Menerima bahwa apa-apa yang belum terjadi jika ditakutkan juga tak akan ada manfaatnya.

Menerima bahwa ini bukan salah siapa-siapa.
Menerima bahwa kita hanyalah manusia biasa yang sangat mungkin bisa meluka, diluka, lalu saling terluka.
Menerima bahwa hidup ini.. memang begitulah adanya.

0

Kebahagiaan dan Nominal Rp. 35.000,-

Posted by Langit Senja on 1:20 PM
"Dek, ikut mbak, yuk." Chat murobbiku muncul di hp-ku kala sore itu.
"Ke mana, Mbak?"
"Ke toko baju yang 35ribuan, mbak mau beliin kamu, terus kita buka puasa bareng, mbak yang traktir, itung-itung nyenengin kamu untuk hari lahirnya kamu. Hehe."
.
.
Terenyuh. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku ketika membaca pesan dari murobbiku itu. Ada rasa tulus yang ku tangkap. Dibungkus dengan rasa cinta. Diselimuti dengan rasa sayang. Lalu aku melihat diriku, melihat barang-barang yang ada di sekelilingku, melihat berapa banyak uang yang aku hamburkan untuk 'membeli' kebahagiaan yang aku cari itu. Aku.. malu. Malu terhadap murobbi, malu terhadap diri sendiri. Bagaimana bisa nominal yang selama ini aku anggap murah itu ternyata bisa menjadi begitu sangat mahal?

Iya sangat mahal.

Di balik nominal tiga puluh lima ribu itu, ada pengorbanan yang menyertainya. Aku tahu, uang itu bisa saja beliau gunakan untuk membeli hal-hal yang ia butuhkan alih-alih membelikanku baju yang aku sangat menyadari bahwa beliau pun pasti sangat mengetahui aku memiliki baju yang lebih dari cukup dan belum membutuhkan baju baru lagi karena baju-baju yang lama masih sangat layak pakai, tapi beliau lebih memilih untuk membelikanku.

Di balik nominal tiga puluh lima ribu itu, ada ketulusan dan keikhlasan yang menyapa. Ketulusan yang tak akan bisa tergantikan oleh apapun, keikhlasan yang tak akan bisa dibeli oleh siapapun.

Di balik nominal tiga puluh lima ribu itu, ada harapan yang ia bawa. Harapan bahwa aku akan bisa berbahagia karenanya. "Gapapa kan dek ke toko baju yang cuma 35ribuan?" Ada nada khawatir di sana, mungkin beliau takut aku akan kecewa. Ah, mbak, ga usah berbicara soal nominal, kehadiranmu di hidupku saja sudah sangat bisa membuatku bahagia :')

Satu hal yang selalu aku syukuri dari dulu; aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang baik, yang selalu ada untukku, yang menyayangiku, yang rela berkorban untukku, yang ikhlas membantu dan menemaniku, yang selalu menguatkanku, dan yang selalu ingin membahagiakanku.

Kau, sudahkah berbahagia hari ini?

0

Jodoh Minta ke Abi?

Posted by Langit Senja on 9:41 AM
Tiba-tiba teringat celetukan beberapa teman, bahkan sebagian besar pada bilang gini, "Fathimah mah enak, jodoh tinggal minta ke Abinya."
(((enak)))
(((tinggal minta)))

Ada semacam beban yang harus dibawa kemana-mana sebagai 'anak Abi'. Anak ustadz, tepatnya. Anak ustadz harus beginilah, anak ustadz harus begitulah, kok anak ustadz begini? kok anak ustadz begitu? Ga boleh salah karena netijen selalu benar. Terlebih ketika jati diri yang memang rada boyish, rada tomboy, harus pinter-pinter mengondisikan diri untuk tampil feminin pada acara-acara tertentu. You know, beauty is pain itu benar adanya. Kaki ku ini kawan, rasanya memang tidak ditakdirkan untuk memakai sepatu perempuan. Entah kenapa selalu aja ada yang luka ketika memakai flat shoes atau yang sejenis itu. Rok ini yang tidak cocok jika dipasangkan dengan sepatu kets, harus dipadu-padankan dengan sepatu yang lebih girly; baju itu yang jika dipasangkan dengan high heels maka aku akan terlihat lebih tinggi, jika tidak dipasangkan dengan sepatu hak maka aku akan tenggelam dengan bajunya karena iya aku ini pendek, thank you; atau dress yang tampaknya tidak akan pernah bisa cocok dengan sneakers. Once again, beauty is pain.

Apa korelasi judul dengan sepatu-sepatu itu? Oh nggak, itu cuma curhatan aja. LOL. Apa korelasinya dengan jodoh? Ya itu. Aku sangat menyadari aku ini orang yang bagaimana, aku ini orang yang seperti apa. Untuk 'meminta', tidak seenak itu, tidak segampang itu, wahai kisanak. Bukan berarti aku tidak mensyukuri telah dilahirkan sebagai anak Abi, bukan, bukan itu maksudnya. Ada yang harus terus aku benahi, ada yang harus terus aku perbaiki untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku, walaupun aku adalah anak Abi, aku bukanlah Abi. Aku ya aku. Aku yang masih jauh dari kata sempurna, aku yang masih belajar untuk menyempurnakan ajaran agama, aku yang masih berproses dalam menjalankan perintah-Nya. Untuk 'meminta', aku menyadari satu hal; Abiku tentu tak akan mau menyerahkan aku-yang-beginian-doang-ga-ada-perubahan ke anak orang lain. Kasian anak orang lain itu yekan. Jadi, selagi masih bisa dikasih kesempatan waktu untuk belajar, selagi masih bisa dikasih kesempatan umur untuk berproses, selagi masih bisa dikasih kesempatan untuk berubah, why not? Just do it. Tidak banyak orang yang bisa seberuntung kita dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan itu.

Teruntuk yang baper tapi belum siap, teruntuk yang pembahasannya tentang jodoh-jodoh mulu, teruntuk yang udah siap tapi terkendala restu orangtua (yang baru boleh menikah kalau sudah umur sekian sekian sekian), atau teruntuk yang udah siap tapi belum jua menemukan yang cocok, kejarlah dulu mimpi-mimpimu, cari pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menjadi bahan cerita ke anak-anakmu nanti di hari tuamu. "Eh nak.. Papa/Bapak/Ayah/Abi tuh dulu...." "Ibu/Mama/Bunda/Ummi waktu itu...." Atau bahkan ke cucu; "Cu.. Kakek dulu jago banget maen Dota. Tanya aja sama nenekmu." Ga deng, ga Dota juga. Just kidding. Kan seru, hari tuamu ga cuma sekedar berkebun-ternak lele-mancing doang isinya. Tentu ada banyak pelajaran hidup yang bisa kamu 'investasikan' untuk hari tuamu kelak. Walaupun umur ga ada yang tau, tapi inget lima perkara sebelum lima perkara kan? ;)

0

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Posted by Langit Senja on 11:20 AM

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-Ankabuut:2)

Ujian itu bermacam-macam rupa dan warnanya. Bisa jadi merah kuning kelabu, atau hijau muda dan biru (?). Tidak. Kamu tidak bisa dikatakan lemah hanya karena ujian yang diberikan tentang cinta, tentang hati, tentang rasa yang berhubungan antara perempuan dan laki-laki. Cinta itu fitrah. Cinta itu suci. Beruntunglah bagi orang-orang yang bisa menjaga kesucian cinta tersebut. Hanya saja, ketika cinta itu tak lagi bisa dijaga, disitulah letak kesetiaan hatimu diuji. Kesetiaan antara memberikan hatimu kepadanya atau memasrahkan hatimu kepada-Nya; Sang Maha Pemilik cinta, Sang Maha Pencipta hati. Jatuh-bangunnya cinta ini berkali-kali membuatku jatuh ke sujud-sujud yang selalu kurindukan ketenangannya, lalu bangun untuk mengusap airmata, lalu kembali jatuh lagi ke sujud yang entah ke berapa. Ya. Tuhanku secemburu itu; aku dijatuhbangunkan oleh urusan dunia untuk membuatku sadar mengapa aku tak jatuh-bangun untuk-Nya pula. Tepatnya, hanya untuk-Nya.

Menjaga dan mempertahankan apa yang telah di istiqomahkan memang tidaklah mudah. Sungguh sangat tidak mudah. Jangankan soal cinta kepada manusia, bisa cinta dan istiqomah menjalankan ibadah sunnah saja sudah alhamdulillah. Namun percayalah, ketika kau sudah memutuskan untuk istiqomah, akan selalu ada jalan kemudahan yang ditunjukkan oleh Allah. Entah, suatu kebahagiaan tersendiri ketika ada yang berkata kepadaku; "keep istiqomah." Iya, anaknya emang mudah dibahagiain oleh hal-hal kecil wkwk.

Aku tak tahu ujian keimanan apalagi yang akan diberikan oleh Tuhanku. Yang ku tahu hanyalah Tuhanku telah berhasil membuatku sadar bahwa apapun ujiannya nanti, apapun yang terjadi nanti, yang harus ku lakukan hanyalah kembali menjatuhkan keningku di atas sajadah dan... pasrah.

0

Surat Cinta Untuk Abi

Posted by Langit Senja on 1:32 PM
Seseorang pernah memberi saran untukku, "buatlah tulisan yang jujur agar bisa menyembuhkan luka-luka yang kau derita, agar bisa berdamai dengan masa lalunya, agar bisa menerima apa yang telah ditetapkan-Nya."

Mungkin ini pertama kalinya aku menulis untuk keluargaku. Ya, untuk, bukan tentang. Entah bagaimana pendapat keluargaku ketika membacanya, aku akan meminta maaf terlebih dahulu jika ada kesalahan dalam penulisannya. Karena, aku akan mencoba untuk menulis secara jujur seperti yang disarankan oleh seseorang tersebut.

Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna. Kita, keluarga yang mencoba untuk terlihat sempurna. Sedih dan senang itu satu paket, pun dengan kekurangan dan kelebihan yang kita punya. Mungkin emang sekurang itu sampai-sampai aku menderita anxiety disorder, depresi, gangguan tidur, dan gangguan mood. Mungkin emang sekurang itu sampai-sampai aku mempunyai penyakit vertigo dan spasmofilia stadium 4. Mungkin emang sekurang itu sampai-sampai aku trauma dengan orangtuaku sendiri. Kurang lebih 16 tahun memendam itu membuatku berkali-kali ingin mencoba untuk bunuh diri. Aku seorang mahasiswi Psikologi, aku beragama Islam, dan pikiranku selalu terbagi menjadi tiga hal: aku mempunyai power untuk mengendalikan dan menterapi diri sendiri, aku yang sedikit banyak mengetahui ilmu agama dan tahu bahwa bunuh diri itu hukumnya sangat berat, dan aku yang hanyalah manusia biasa yang sedang 'sakit'.

Dengan tulisan ini pula aku mengucapkan banyak terima kasih terhadap orang-orang yang selalu ada untukku, yang tak bisa ku sebutkan satu persatu, yang tentunya sangat mempunyai andil dalam proses penyembuhan penyakitku. Khususnya buat adik dan abang kandungku; Muhammad Fatih Al Aziz dan Shofiatul Karimah, mbak sangat berterima kasih karena kalian telah bisa menampung cerita mbak (yang baru di bulan April kemarin mbak akhirnya bisa mengumpulkan keberanian untuk menceritakan semuanya), mengerti, mendukung, dan menguatkan mbak, yang sebelumnya mbak udah sangat takut dan sangat pesimis mbak ga bakal pernah bisa mendapatkan pengertian yang mbak inginkan dari keluarga. Mbak gatau apakah kalian menyampaikan cerita mbak ke Abi Ummi, tapi yang jelas mbak berterima kasih karena mbak merasakan ada 'ruang' yang akhirnya diberikan Abi Ummi ke mbak, yang selama ini itulah yang mbak butuhkan (untuk penyembuhan mbak).

Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna. Tapi kita, keluarga yang terus mencoba untuk saling menyempurnakan. Kita emang sekonyol itu, kita emang se-sengklek itu, kita emang se-slenge'an itu, kita emang se'geser' itu, kita emang se-gesrek itu, kita emang serame itu. Ada banyak hal yang terus ku pelajari dari keluarga ini; tentang bagaimana cara menjalani hidup, tentang bagaimana cara bertahan di bawah tekanan, tentang bagaimana menghadapi dan menyelesaikan permasalahan, dan tentang tentang lainnya yang pada akhirnya menggiringku pada sebuah kata; kesederhanaan. Kita, bukanlah keluarga yang 'mengenal' makanan fast food, seperti KFC, Pizza Hut, Starbucks dan sejenis itu. Tepatnya, orangtuaku mendidik anak-anaknya dengan cara tidak memperkenalkan 'toko-toko' itu kepada kami. Bukan, bukan berarti toko-toko itu buruk. Hanya saja, aku bersyukur karena dengan didikan itu, kami, anak-anaknya, tidak rela mengeluarkan lembaran uang Rp. 50.000 hanya untuk segelas kopi, lebih memilih lauk pauk 4 sehat 5 sempurna daripada membeli burger, dan lebih memilih ngehedon di tempat yang mahal tapi bagus sekalian daripada di tempat yang udahlah ecek-ecek, trus mahal, tapi makanannya ga enak. Oke kalimat terakhir bercanda. Tapi bener. LOL. Mungkin karena didikan itulah yang memunculkan kebingunganku terhadap orang-orang yang begitu addict terhadap fast food; begitu banyak meme-meme yang memuja Pizza, dll dsb dst. Tidak, aku tak membenci tempat-tempat tersebut, karena tak dapat dipungkiri segala sesuatu yang tidak menyehatkan itu memang enak (?) Yang ingin aku sampaikan adalah, aku bersyukur hal itu tidak menjadi gaya hidupku.

Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna. Tapi kita, keluarga yang selalu mencoba untuk terus berjuang dan berusaha. Satu hal yang sangat ku sukai dari Abi; Abi adalah orang yang benar-benar berjuang dari nol; dari yang dulu tidak mempunyai apa-apa sampai sekarang menjadi punya 'nama'. Mbak masih inget banget cerita Abi yang dulu cuma makan pake nasi dan minyak jelantah (minyak bekas penggorengan), entah bagaimana rasanya, membayangkannya saja mbak sudah mual. Dan di masa sekarang, ketika makanan di rumah habis oleh kita, Abi bilang dengan nada bercanda tapi mbak tau ujungnya serius; "Ya Allah naak, ga di sisain buat Abi. Tapi gapapa, yang penting anak-anak Abi bisa makan." :') Abi yang menjadi inspirasi mbak untuk memilih calon suami yang mau berjuang dari nol kayak Abi. Mbak pengen punya calon suami yang kayak begitu. Dan Ummi, Ummi yang menjadi inspirasi mbak untuk bisa menjadi istri yang berada di balik kesuksesan seorang suami. Mbak gatau apakah salah mbak mempunyai pikiran seperti ini, tapi, mbak sama sekali ga ada kepikiran tentang materi kalau berbicara soal mahar nanti. Aak dengan maharnya yang sekian sekian sekian, Abang dengan memberikan maharnya yang sekian sekian sekian, mbak yang cuma pengen mahar hafalan Qur'an. Salahkah?

Bi, di umur mbak yang bentar lagi menginjak 22 tahun ini (karena awalnya niatnya pengen nulis ini pas di tanggal lahir mbak nanti, tapi lagi-lagi mood nulisnya muncul hari ini), mbak cuma pengen nyampein, apapun nanti yang terlihat salah di mata Abi, mbak mohon tolong dimengerti ya, Bi. Mbak masih terus dan akan selalu berproses untuk memperbaiki diri. Mbak pengen Abi tau kalo di sini pun mbak sangat berjuang dan berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik dan membuat bangga Abi Ummi, walaupun mungkin usaha yang terlihat tampak tidak ada apa-apanya.

Bi, Karimah udah nyampein ke mbak, kalo Abi Ummi pengen mbak ngehubungin Abi bukan hanya ketika mbak sedang butuh uang aja, Abi Ummi pengen kita diskusi juga lewat telepon seperti yang biasa kita lakukan di rumah. Mbak sangat mengerti dan menangkap apa yang Abi Ummi kodein ke mbak. Mbak gatau apakah Kakmah atau Abang udah nyampein juga jawabannya ke Abi Ummi, mbak terlalu pengecut untuk meminta maaf secara langsung, Bi. Maaf kalo sampai saat ini mbak masih belum bisa memenuhi keinginan Abi Ummi yang itu. Dengan proses terapi yang sedang mbak jalani sekarang untuk penyembuhan mbak, besar harapan mbak Abi Ummi bisa mengerti mengapa mbak belum bisa memenuhinya.

Bi, terima kasih udah jadi Abi yang romantis. Mbak ga akan pernah lupa pas mbak cuma iseng bilang mbak pengen martabak yang kuahnya cokelat (martabak India) ketika Abi pulang ke rumah membawa martabak yang kuahnya kuning (martabak Har). Besoknya, di meja udah ada aja dong martabak India nya dan Abi bilang ke mbak; "Martabak yang ini kan yang Fathimah pengen?" :')

Bi, mbak tau sekarang Abi sedang melewati masa-masa yang sulit (lagi). Entah apa itu, maaf mbak belum bisa gimana-gimana selain bantu doa. Semoga Abi selalu disehatkan, dikuatkan, disabarkan, dan dilancarkan segala urusannya. Dan semoga, kita semua, Abi, Ummi, Aak, Abang, Kakmah, Dek Ara, makin dieratkan ikatannya sebagai sebuah keluarga yang... bahagia.

Salam sayang, dari yang selalu mengerti keluarga ini tapi cuma bisa mendem
Mbak Fath

0

Can I?

Posted by Langit Senja on 1:40 PM
Dianggap tidak ada itu menyakitkan. Terlebih jika tanpa alasan. Aku memilih bahagia dengan kesendirian daripada harus berada di keramaian yang penuh dengan ketiadaan. Hidup ini memang selalu tentang pilihan, bukan?

0

:)

Posted by Langit Senja on 7:35 PM
"Kamu apa kabar?" Kalimat yang selalu ku dengar darimu acapkali kita (sengaja atau tidak sengaja atau sengaja ku tidaksengajakan) berjumpa. Berjumpa di dunia maya, tentunya. Aku kaku, kau meragu. Aku ragu, kau menunggu. Menunggu jawaban tersirat apakah perasaanku masih sama seperti yang dulu. Menunggu apakah aku masih menyediakan tempat ternyaman untuk berpulangmu. Menunggu apakah tak ada orang lain yang sedang ku tunggu.

"Kamu apa kabar?" Entah sejak kapan pertanyaan tentang kabar menjadi basa-basi dalam sapaan. Entah kabar ke berapa yang kau butuhkan untuk memastikan bahwa aku masih menyimpanmu di dalam ingatan. Segar terpancar dari ceritamu yang menggebu-gebu, yang ku tahu pasti kau sedang merinduku. Geli bercampur lucu pikiranku pun memutar kenangan itu; aku yang aslinya memang sangat pemalu tak mampu menatap matamu, dan kau yang terus menggodaku agar pandangan kita bisa bertemu. Ingin sekali aku memberitahumu; "tak berani menatap mata" adalah pertanda bahwa aku menyukai orang itu. Menyukaimu. Dulu. Entah kau menyadarinya atau tidak, aku sengaja membiarkanmu dalam ketidaktahuan itu. 

"Kamu apa kabar?" Aku memulai hari dengan perasaan yang hambar. Menelan kata demi kata yang terus kau umbar. Sampai pada akhirnya aku menemukan titik di mana kita harus berputar; dengan sukarela kau akan mengiringiku, atau aku yang akan terpaksa tega meninggalkanmu demi mematikan perasaanmu.

Psst. Aku juga sedang merindumu; yang sampai kapanpun aku tetap akan sengaja membiarkanmu dalam ketidaktahuan itu.



-to be continued-

Copyright © 2009 Langit Senja All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.